Sabtu, 21 Mei 2011

Presiden Harus Bahas BMAD 58 Produk Indonesia


JAKARTA - Forum Komunikasi Asosiasi Industri (Forkan) meminta kepada Presiden SBY untuk mengangkat isu dan membahas dengan Presiden Turki Abdullah Gul tentang pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).

Serta pengenaaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) yang dikenakan oleh Otoritas Pemerintah Turki terhadap 58 produk asal Indonesia. Seperti diketahui, Presiden Turki Abdullah Gul akan berkunjung ke Indinesia pada 5 April 2011.

Forkan tersebut di antaranya terdiri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo), Gabungan Elektronika Indonesia (Gabel), The Indonesiaan Iron and Steel Industry Association (IISIA), dan Gabungan Asosiasi Produsen Besi Baja Seluruh Indonesia (GAPBESI).

Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies menjelaskan, pengenaan BMAD oleh Otoritas Pemerintah Turki telah menghentikan ekspor dari Indonesia ke Turki.

“Otoritas Turki kenakan BMAD selama mereka melakukan investigasi. BMAD sudah bisa menyetop ekspor kita. Kita langsung tidak kompetitif,”kata Ratna di Jakarta, Senin (4/4/2011).

Menurut Ratna, seharusnya pemerintah Indonesia bisa melakukan hal serupa seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah Turki untuk melindungi industri serta pasar dalam negerinya.

“Ada something wrong, misalnya dalam PMK 241. Saya tidak tahu, visi misinya pemerintah itu tidak jelas. Kesalahan ada di pemerintah Indonesia,” tegas Ratna.

Terkait Peraturan Pemerintah Nomor 34/ 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Ratna menjelaskan, hingga saat ini, Menteri Keuangan (Menkeu) belum juga mengeluarkan revisi dari PP itu. Maka dari itu, Ratna akan menempuh jalur hukum.

“Dalam PP 34 yang mengatur BMAD, Menkeu tidak mereview tapi hanya berdasar rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) lalu Mendag lalu baru mengeluarkan kebijakan. Menkeu dianggap melakukan penyimpangan (maladministrasi). Tidak ada berdasarkan kepentingan nasional. Seharusnya sejak dulu mengeluarkan revisi,” jelas Ratna.

Pasalnya, kata Ratna, apabila PP tersebut tidak segera direvisi, maka akan menghambat iklim investasi tepung terigu di Indonesia.

“Kita sangat buruk sekali pengamanan perdagangannya. Kami meminta revisi PP 34. Supaya proteksi terhadap kita jelas. Kalau tidak ada ini, iklim investasi tidak akan menarik lagi,” ucap Ratna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar